MAKALAH FIQIH TENTANG IBRA'


NAMA: SAIFUL MUSTOFA



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat, karunia dan hidayah-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun tujuan  kami menyusun makalah ini ialah sebagai salah satu materi tugas kegiatan yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa dalam melaksanakan studi di tingkat perkuliahan semester IV. Adapun judul yang penyusun buat didalam makalah ini adalah mengenai “Penyelesaian Sengketa Ekonomi”.

Dalam proses penyusunan makalah ini, penyusun banyak mendapatkan bantuan, dukungan, serta doa dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah didalam kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih dengan penuh rasa hormat serta dengan segala ketulusan hati kami kepada Bapak Dr.Jamaludin Acmad Kholik, Lc. Ma serta rekan rekan mahasiswa STAIN KEDIRI, hingga selesainya makalah ini.

Sangatlah disadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan didalam penyusunannya dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami sebagai penyusun mengharapkan masukan baik saran maupun kritik yang kiranya dapat membangun dari pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaaat khususnya bagi kita semua.




Kediri, 27 April 2017


Kelompok 9


DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................... ii
Daftar Isi .............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan ...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sengketa.................................................................................. 2
B.     Mekanisme Penyelesaian Sengeketa Ekonomi.......................................... 2
C.     As-Sulh (Perdamaian)............................................................................... 2
D.    Ibra’ (Pembebasan).................................................................................... 6
E.     Taflis (Pailit).............................................................................................. 8
F.      Sumber Hukum Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah......... 21
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ............................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA
 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sengketa ekonomi biasanya ditafsirkan sebagai sebuah problem yang terjadi dalam ranah perekonomian sebuah negara, secara khusus sengketa ekonomi diartikan sebagai sebuah konflik atau pertentangan yang terjadi berkaitan masalah-masalah ekonomi.
Sebagaimana realita yang terjadi bahwa saat ini didalam dunia bisnis terjadi begitu banyak transaksi setiap harinya, hal itu tidak menutup terjadinya sengketa diantara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Setiap jenis sengketa yang terjadi menuntut akan adanya pemecahan dan penyelesaian yang cepat dan tepat. Karena perlu diketahui bahwa semakin banyak dan luasnya aktivitas perdagangan maka frekuensi terjadinya sengketa dimungkinkan juga akan tinggi, selain itu membiarkan sengketa tersebut tanpa adanya penyelesaian yang cepat maka akan menimbulkan pembangunan yang tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis akan mengalami kemunduran serta beragam kerugian-kerugian lainnya yang akan menimpa jika suatu sengketa terlambat diselesaikan. Oleh karena itu, perlu cara-cara khusus yang diterapkan agar penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cepat, efektif dan efisien. Untuk itu harus dibina & diwujudkan suatu sistem penyelesaian sengketa yang dapat menyesuaikan diri dengan laju perkembangan perekonomian dan perdagangan di masa datang.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu  Sengketa?
2.      Bagaimana Mekanisme Penyelesaian sengketa Ekonomi?
3.      Apa yang dimaksud dengan Al-Sulh?
4.      Apa yang dimaksud dengan Ibra’?
5.      Apa yang dimaksud dengan Taflis?
6.      Apa saja Sumber Hukum dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah?
C.     Tujuan
Apabila ada permasalah sengketa dalam masalah Ekonomi bisa mengatasi permasalah itu semua.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sengketa
Sebelum membahas secara mendalam tentang sengketa ekonomi, maka terlebih perlu dipahami defenisi dari sengketa, dimana di dalam kamus Besar Bahasa Indonesia sengketa berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.[1]
Adapun defenisi sengketa menurut beberapa ahli[2], diantaranya adalah :
1.      Menurut Winardi,
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
2.      Menurut Ali Achmad,
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang mana nantinya dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.[3]
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja sama dalam dunia ekonomi. mengingat kegiatan ekonomi khususnya bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat.
Perlu diketahui bahwa Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatar belakanginya, terutama karena adanya Conflict Of Interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa ekonomi.
Secara rinci sengketa dalam ranah ekonomi diantaranya yaitu: Sengketa perniagaan, Sengketa pekerjaan, Sengketa perbankan, Sengketa perburuhan, Sengketa Keuangan, Sengketa perusahaan, Sengketa Penanaman Modal, Sengketa hak, Sengketa Perindustrian, Sengketa property, Sengketa HKI, Sengketa Kontrak, Sengketa Konsumen dan lain-lain.

B.     Mekanisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Perlu dipahami bahwa Penyelesaian sengketa ekonomi bertujuan untuk menghentikan pertikaian dan menghindari kekerasan dan akibat-akibat yang mungkin akan terjadi akibat dari persengketaan tersebut.
Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara diantaranya yaitu sebagai berikut: As-Uslh (Perdamaian), Ibra’ (Pembebasan) dan Taflis (Palilit). Adapun penjelasannya, antara lain :

1.      Al-Sulh (Perdamaian)
Secara bahasa “Sulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara 2 pihak yang bersengketa secara damai.[4] Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh allah swt sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa:126, yang artinya “perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”.
Ada 3 rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan oleh orang yang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul, dan lafadz dari perjanjian damai tersebut. Jika ke tiga hal ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana yang telah diharapkan. Dari perjanjian damai itu lahir suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyutujui isi perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak.
Syarat-syarat syah suatu perjanjian damai dapat diklasifikasikan kepada beberapa hal sebagai berikut:
1.      Hal yang menyangkut subjek
Tentang subjek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap bertindak menurut hukum. Selain dari itu, orang yang melaksanakan perdamaian harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atau hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut. Belum tentu setiap orang yang cakap bertindak mempunyai kekuasaan atau wewenang. Orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak mempunyai wewenang untuk memiliki seperti:
a)      wali atas harta benda orang yang berada dibawah perwaliannyal;
b)      pengampu atas harta benda orang yang berada dibawah pengampuannya;
c)      nazir (pengawas) wakaf atas hak milik wakaf yang ada dibawah pengawasannya.
2.      Hal yang menyangkut objek
Tentang objek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni
a)      Berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud, seperti hak milik intelektual, yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan dan bermanfaat;
b)      Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidak jelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian baru terhadap objek yang sama
3.      Persoalan yang boleh didamaikan (di Suhlkan)
Para ahli hukum islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain, persoalan perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja, sedangkan hal-hal yang menyangkal hak-hak allah tidak dapat didamaikan
4.      Pelaksanaan perdamaian
Pelaksanaan perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan 2 cara, yakni diluar sidang pengadilan atau melalui sidang pengadilan. Diluar sidang pengadilan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri (yang melakukan perdamaian) tanpa melibatkan pihak lain, atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah (wasit), itulah yang kemudian disebut dengan arbitrase, atau dalam syariat islam disebut dengan Hakam. Pelaksanaan perjanjian damai melalui sidang pengadilan dilangsungkan pada saat perkara sedang diproses dalam sidang pengadilan.
Didalam ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum perkara diproses, atau dapat juga selama diproses bahkan sudah diputus oleh pengadilan tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap, hakim harus menganjurkan agar para pihak yang bersengketa supaya berdamai. Seandainya hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, maka dibuatlah putusan perdamaian, kedua belah pihak yang melakukan perdamaian itu dihukum untuk mematuhi perdamaian yang telah mereka sepakati.
Perjanjian perdamaian ( Sulh ) yang dilaksanakan sendiri oleh kedua belah pihak yang berselisih atau bersengketa, dalam praktik dibeberapa negara islam, terutama dalam hal perbankan syariah disebut dengan “Tafawut” dan “Taufiq” (perundingan dan penyesuaian). Kedua hal yang terakhir ini biasanya dipakai dalam mengatasi persengketaan antara interens bank, khususnya bank dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah.[5]

2.      Ibra’ (Pembebasan)
Istilah penghapusan hutang dalam Islam disebut dengan al- ibrā’ (الابراء) yang artinya melepaskan, dan menjauhkan diri dari sesuatu yakni, penghapusan hutang seseorang oleh pemberi utang. Dalam fiqih, ibrā’ berarti pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang berutang.[6]
Adapun rukun dari pada al-ibrā’, jumhur ulama membaginya menjadi empat yaitu:
1)      Orang yang memberi piutang (kreditur).
2)      Orang yang berutang (debitur).
3)      Sigah (lafal al-ibrā’).
4)      Utang itu sendiri.
Selanjutnya mengenai syarat-syarat al-ibrā’ yaitu:
a.       Dalam kaitannya dengan orang yang menggugurkan hak, disyaratkan:
1)      Baligh, berakal, cerdas, dan tidak berstatus di bawah pengampunan.
2)      Memiliki kekuasaan terhadap hak yang akan digugurkan (pemilik dari harta tersebut).
3)      Orang yang menggugurkan utangnya itu ridho dan sadar.
b.      Berkaitan dengan orang yang berutang, disyaratkan harus jelas identitasnya.
c.       Dalam hubungannya dengan utang yang digugurkan disyaratkan:
1)      Jenis dan jumlahnya jelas.
2)      Yang digugurkan berbentuk uang.
3)      Uang tersebut ada ketika dilakukan al-ibrā’.
d.      Berkaitan dengan al-ibrā’ disyaratkan:
1)      Lafal yang digunakan bersifat lepas, tidak terkait dengan syarat dan tidak dikaitkan dengan zaman yang akan datang.
2)      Lafal yang dipergunakan tersebut tidak bertentangan dengan syara’.
3)      Lafal al-ibrā’ dinyatakan setelah utang benar-benar hak orang yang mengucapkannya.[7]
Namun, ada kalanya para pihak yang melaksanakan perjanjian sering memasukkan klausul-klausul dalam akad yang mereka buat. Klausul-klausul yang dimasukkan ke dalam akad, yang dalam hukum perjanjian syari’ah disebut dengan syarat-syarat penyerta akad atau syarat-syarat yang berbarengan dengan akad (asy-syuruţ al-muqtarinah bi al-‘qd)[8].
Syarat-syarat penyerta akad ini ada yang sah untuk diperjanjikan dan ada yang tidak sah untuk diperjanjikan. Syarat-syarat yang tidak sah ini adalah syarat-syarat yang pemasukannya dalam akad mengakibatkan terjadinya garar atau syarat-syarat tersebut bertentangan dengan syari’ah.
Menurut jumhur ulama lafal al-ibrā’ yang digunakan haruslah bersifat lepas, tidak terkait dengan syarat dan tidak dikaitkan dengan zaman yang akan datang. Akan tetapi jika syaratnya bersifat aktual ataupun sejalan dengan maksud al-ibrā’, maka hukumnya adalah boleh.
Penghapusan hutang yang terjadi antara pemerintah Indonesia (debitur) dengan Pemerintah Jerman (kreditur) merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas terkait tentang boleh atau tidaknya dalam hukum Islam penghapusan hutang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dikarenakan, dalam akad penghapusannya Pemerintah Jerman memberikan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh Pemerintah Indonesia.
Al-ibrā’ merupakan salah satu bentuk solidaritas dalam Islam. Sikap tolong-menolong dalam kebajikan yang terkandung didalamnya sangatlah dianjurkan oleh syari’at Islam, sebagaimana firman Allah SWT:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعَدْوَانِ وَاتَّقُوْا االلهَ اِنَّ االلهَ شَدِيْدُ
 الْعِقَابْ[9]

Selain itu dalam kaedah fiqh yang berbunyi:             
 لَاضِرَرَ وَ لَا ضِرَارَ[10]
Dalam kaidah di atas diterangkan bahwa tidak diperbolehkannya membuat kemadaratan (kerugian) baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.
3.      Taflis (Palilit)
Secara etimologi, at-taflis berarti pailit, tekor  atau jatuh miskin. Orang yang pailit disebut muflis, yaitu  seorang yang tekor, di mana hutangnya lebih besar dari assetnya. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw pernah menggambarkan seorang yang muflis di akhirat, yaitu orang yang dosanya lebih besar dari pahalanya. Orang  tersebut mengalami  tekor, karena pahalanya dipindahkan kepada orang-orang yang digunjingnya, sehingga timbangan dosanya menjadi lebih besar dari pahalanya. Dalam konteks ekonomi, istilah taflis diartikan sebagai orang yang hutangnya lebih besar dari hartanya.
At-Taflis (kepailitan) diambil dari kata al-fals jamaknya fulus. Al-fals adalah jenis uang yang paling sedikit (uang recehan) yang terbuat dari tembaga. Fulus biasanya dikesankan sebagai  harta seseorang yang paling buruk dan mata uang yang paling kecil[11]. Orang-orang miskin biasanya hanya memiliki mata uang fals atau fulus. Mereka tidak memiliki mata uang dinar dan dirham. Dari uraian tersebut terlihat hubungan taflis dengan pailit.
Menurut  Ensiklopedi Indonesia, kepailitan didefinisikan sebagai   ketidakmampuan pihak penghutang atau debitor (bisa orang, badan hukum, perseroan) yang terbukti berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitor telah berhenti membayar hutangnya (tidak mampu melunasi hutang) yang mengakibatkan penyitaan umum atas harta kekayaannya, sehingga debitor tidak berhak lagi mengurus harta bendanya.[12]
Dalam hukum perdata (Peraturan kepailitan : S.1905-217 jo S. 1906-348) kata pailit mengacu kepada keadaan debitur (Perorangan, badan hukum, perseroan) yang terbukti berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitur telah berhenti membayar hutangnya (tidak mampu melunasi hutang) yang mengakibatkan penyitaan umum atas harta kekayaannya, sehingga debitur tidak  berhak lagi  mengurus harta bendanya.[13]
Sedangkan secara terminologi ahli fiqh,  At-taflis (penetapan pailit) didefinisikan oleh para ulama  dengan : ”Keputusan hakim yang melarang seseorang bertindak hukum atas hartanya”.  Larangan itu dijatuhkan karena ia terlibat hutang yang meliputi atau bahkan melebihi seluruh hartanya.
Contohnya, apabila seorang pedagang (debitur) meminjam modal dari orarng lain (kreditur) atau kepada Bank,  dan kemudian ternyata usaha dagangnya rugi  dan bahkan habis, maka atas permintaan kreditur kepada hakim, supaya debitur dinyatakan pailit, sehingga ia tidak dapat lagi bertindak secara hukum terhadap sisa hartanya.
Pencegahan tindakan hukum debitur pailit ini untuk menjamin hutangnya kepada kreditur (Bank).
Dengan demikian muflis (taflis) ialah adalah orang yang hutangnya lebih banyak dari hartanya. Apabila seseorang telah habis hartanya dan tidak mampu membayar hutang-hutangnya,dinamakanlah dia sebagai pailit (bangkrut). Menjatuhkan hukum terhadap orang sebagai tidak mampu bayar hutang, dinamakan “taflis” (pernyataan bangkrut).[14]
Kondisi lanjut atas kondisi taflis ini adalah adanya pelarangan atau pembekuan harta dan tindakannya yang disebut dengan al-hajr. Secara etimologi al-hajr (pembekuan) adalah melarang dan mempersempit. Akal dijuluki Al-Hajru  karena pemilik harta membekukan diri dari melakukan hal-hal yang buruk, seperti pada firman Allah SWT[15], “Pada yang demikian itu terdapat sumpah yang dapat diterima oleh orang-orang yang berakal “ (QS. Al Fajr (89) : 5)4
Secara terminology al-hajr ialah pelarangan seseorang  membelanjakan hartanya. Pelarangan pembelanjaan harta muslis tersebut karena di dalam hartanya ada hak orang-orang lain, yaitu  hak  orang yang memberikan utang kepadanya.
Dasar mengenai pelarangan pembelanjaan harta ini adalah hadits yang terdapat pada Shahih Bukhari (2402) dan Shahih Muslim (1559) bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang menjumpai hartanya berada pada seseorang laki-laki yang telah bangkrut/pailit, maka ia lebih berhak dengan harta tersebut daripada orang lain”
Hadits di atas diperkuat lagi oleh Al-Ashthakhri yaitu “Apabila hakim memutuskan hal yang sebaliknya, maka hukumnya dapat dibatalkan”[16]
Keputusan dan tindakan hakim menahan harta seseorang untuk keperluan pembayaran hutangnya, dalam istilah fiqih disebut “hajr”.
1)      Pailit Menurut Fiqh Islam
Sebelum membahas konsep taflis (kepailitan) lebih luas, maka terlebih dahulu kita mengambil dasar hukum atas pernyataan pailit tersebut.
Sebagai landasan dasar hukumnya adalah sebuah riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah SAW, menetapkan Mu’az bin Jabal sebagai orang yang terlilit hutang dan tidak mampu melunasinya (pailit), lalu Rasulullah melunasi hutang Mu’az bin Jabal dengan sisa hartanya. Tetapi pihak yang berpiutang tidak menerima seluruh pinjamannya, maka dia pun melakukan protes kepada Rasulullah. Protes itu dijawab oleh Rasulullah dengan mengatakan : “Tidak ada yang dapat diberikan kepada kamu selain itu” (HR. Daru-Quthni dan Al- Hakim)
Riwayat lain diunjukkan bahwa Umar bin Khatab pernah menahan harta seseorang debitor untuk dibagi-bagikan kepada kreditor. Ringkasan dari riwayat itu adalah : Usaifi’ dari warga Juhainah mempunyai hutang, tapi ia tidak mau membayarnya. Maka Umar menahan hartanya dan memberitahukan kepada siapa yang mempunyai piutang atasnya agar datang kepadanya untuk membagikan hartanya (membayar hutang) (Disarikan dari riwayat Malik dan Daraquthni).
Dari sunnah Nabi dan Khalifah Umar bin Khatab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya wewenang penguasa atau hakim mengambil keputusan taflis dan hajar terhadap debitor yang telah jatuh bangkrut dan dengan demikian maka pernyataan taflis atau pailit harus ditetapkan melalui putusan hakim.
2)      Penetapan Seseorang Jatuh Pailit.
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama fiqh tentang penetapan seseorang jatuh pailit dan statusnya berada di bawah pengampuan, apakah perlu ditetapkan melalui keputusan hakim atau tidak.[17]
Ulama Malikiyah berpendapat :
a)      Sebelum seseorang dinyatakan jatuh pailit, para pemberi piutang (kreditor) berhak melarang orang yang jatuh pailit itu bertindak hukum terhadap sisa hartanya dan membatalkan seluruh tindakan hukum yang membawa mudharat kepada hak-hak mereka, seperti mewariskan hartanya, menghadiahkan, dan melakukan akad mudharabah dengan orang lain. Adapun terhadap tindak hukumnya yang bersifat jual beli dapat dibenarkan.
b)      Persoalan hutang piutang ini tidak diajukan kepada hakim, dan antara orang yang berhutang dengan orang-orang yang memberi hutang dapat melakukan ash-shulh (perdamaian). Dalam kaitan ini, orang yang jatuh pailit itu tidak dibolehkan bertindak hukum yang sifatnya pemindahan hak milik sisa hartanya, seperti wasiat, hibah, dan kawin. Apabila tercapai perdamaian, maka pemberi hutang berhak membagi sisa harta orang yang jatuh pailit itu sesuai dengan prosentase piutangnya.
c)      Pihak yang memberi hutang mengajukan gugatan (seluruhnya atau sebagiannya) kepada hakim agar orang yang berhutang itu dinyatakan jatuh pailit, serta mengambil sisa hartanya untuk membayar hutang-hutangnya. Gugatan yang diajukan itu harus disertai dengan bukti bahwa hutang orang itu melebihi sisa hartanya dan hutang itu telah jatuh tempo pembayaran. Apabila ketetapan hakim telah ada yang menyatakan bahwa orang berhutang itu jatuh pailit, maka orang-orang yang memberi hutang berhak untuk mengambil sisa harta yang berhutang dan membaginya sesuai dengan prosentase piutang masing-masing.
Sedangkan jumhur ulama menyatakan bahwa seseorang dinyatakan jatuh pailit hanya berdasarkan ketetapan hakim, sehingga apabila belum ada putusan hakim tentang statusnya sebagai orang pailit, maka segala bentuk tindakan hukumnya dinyatakan tetap sah. Sebaliknya, apabila yang berhutang itu telah dinyatakan hakim jatuh pailit, maka hakim berhak melarangnya untuk tidak bertindak hukum terhadap sisa hartanya, apabila perbuatannya itu akan membawa mudharat pada hak-hak orang yang memberinya hutang, dan hakim juga berhak menjadikannya dibawah pengampuan, serta hakim berhak menahannya. Dalam masa tahanan itu hakim boleh menjual sisa harta orang yang dinyatakan jatuh pailit dan membagi-bagikannya kepada para pemberi hutang, sesuai dengan prosentase piutang masing-masing.
Mengacu kepada Syarah Bulughul Maram, terdapat hal-hal penting dari hadits mengenai penyelesaian sengketa taflis (pailit) ini, maka langkah-langkah penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
a)      Langkah pertama atas kondisi taflis ini adalah pembekuan (Al-Hajru) yaitu pelarangan atau pencegahan, dimana secara terminology adalah melarang orangyang pailit untuk membelanjakan hartanya yang didapatkan dari warisan dan yang lainnya. Pelarangan ini legal secara hukum dengan syaratnya, demi menjaga hak-hak orang yang memberikan utang. Efek dari pelarangan pembelanjaan harta ini bahwa pembelanjaannya tidak sah dan pembelanjaan harta yang dikemukakan tidak dapat dilaksanakan dan demikian pula dengan pernyataannya
b)      Pelarangan pembelanjaan harta harus keluar dari hakim dengan meminta a gar masing-masing orang yang memberikan hutang kepadanya atau meminta sebagian dari mereka menghentikan transaksi kepadanya, karena pelarangan pembelanjaan membutuhkan ijtihad di dalam menetapkan hukumnya, sebagaimana dibutuhkan juga kepada adanya kekuasaan legislative dan eksekutif dan hal tersebut tidak ada kecuali seorang hakim Ibnu Qayyim berkata, “Apabila utang yang ia miliki melebihi hartanya, maka pembelanjaan harta dan kerja sosialnya dinilai tidak sah karena membahayakan pemberi hutang, baik hakim melarang pembelanjaan tersebut kepadanya atau tidak melarang.” Atas pernyataan tersebut di atas Ibnu Rajab dan ulama lainnya menetapkan hal ini dan ia membenarkannya di dalam Al Inshaf
c)      Hakim harus menjual harta orang yang pailit dan membagikan hasil penjualan tersebut kepada orang-orang yang memberikan hutang padanya, dengan prioritas sesuai dengan haknya yang ada. Cara pemberian prioritasnya adalah utang-utangnya dikumpulkan lalu dihubungkan kepada harta orang yang pailit dan masing-masing orang yang memberikan utang kepadanya diberikan sesuai dengan prosentase utang orang yang pailit tersebut kepada mereka
Dengan terselesaikannya pembagian harta milik orang yang pailit oleh hakim, maka tuntutan kepadanya terputus. Tidak boleh mengikuti dan menuntut serta menahan orang yang memiliki utang ini, tetapi ia harus dilepaskan dan bersikap lemah lembut sampai ia mendapatkan harta. Hal tersebut bukan berarti bahwa orang yang memberikan utang kepadanya hanya mendapatkan apa yang ditemukannya atau yang berhasil dikumpulkan oleh hakim, dan sisa hutangnya menjadi hilang, atas keadaan tersebut maka Allah SWT berfirman “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (QS. Al-Baqarah (2) : 280)
Maka dengan demikian kepailitan tidak menggugurkan hak-hak pemilik utang (piutang), akan tetapi dilarang mengikuti dan memintanya berdasarkan sabda Rasulullah SAW kepada orang-orang yang memberikan utang kepada Mu’adz “Ambillah apa yang kalian temukan dan tidak ada bagi kalian kecuali selain itu” [18]


3)      Status Hukum Orang Yang Pailit (Muflis)
       Dalam persoalan status hukum orang yang jatuh pailit, para ulama fiqh juga terdapat perbedaan pendapat[19]. Perbedaan itu terletak pada apakah seseorang yang telah dinyatakan pailit harus berada di bawah pengampuan hakim (al-hajr) atau harus dipenjarakan.
Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa orang yang jatuh pailit tidak dinyatakan sebagai orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur ’alaih), sehingga ia tetap dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum. Menurutnya, dalam persoalan harta, tindakan hukum se-seorang  tidak boleh dibatasi atau dicabut sama sekali, karena harta itu adalah harta Allah, boleh datang dan boleh juga habis. Oleh sebab itu, menurut Abu Hanifah, seseorang yang jatuh pailit karena terbelit hutang tidak boleh ditahan atau dipenjarakan, karena memenjara-kan seseorang berarti mengekang kebebasannya sebagai makhluk merdeka. Hal ini menurutnya, lebih berbahaya jika dibandingkan dengan mudharat yang diderita para pemberi hutang. Oleh sebab itu, hakim tidak boleh memaksa orang yang dililit hutang untuk menjual hartanya, tetapi hakim boleh memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang itu. Apabila perintah hakim ini tidak diikuti, maka hakim boleh menahannya sampai ia melunasi hutangnya, atau hakim menganjurkan agar orang yang pailit tersebut menjual sisa hartanya untuk membayar hutangnya itu.
Sedangkan menurut jumhur ulama, termasuk dua tokoh fiqh terkemuka Mazhab Hanafi, yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, seseorang yang telah dinyatakan pailit oleh hakim, boleh dianggap sebagai seorang yang berada di bawah pengampuan, dan dia dianggap tidak cakap lagi bertindak hukum terhadap hartanya yang ada. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak orang  yang memberi hutang kepadanya. Menurut mereka, apabila tindakan hukumnya terhadap harta yang masih ada tidak dibatasi, maka orang pailit ini akan lalai membayar hutangnya, yang pada akhirnya membuat perselisihan semakin kuat antara para pemberi hutang dengan orang yang pailit itu.
Alasan jumhur ulama dalam membolehkan orang jatuh pailit dinyatakan di bawah pengampuan hakim adalah sabda Rasulullah SAW, tentang kasus Muaz ibn Jabal yang dikemukakan di atas. Kemudian, jumhur ulama selian Malikiyah, menyatakan bahwa untuk menetapkan orang yang jatuh pailit itu berada di bawah pengampuan, harus dipenuhi dua syarat, yaitu :
a)      Hutangnya meliputi atau melebihi sisa hartanya.
b)      Para pemberi hutang menuntut kepada hakim agar orang yang jatuh pailit itu ditetapkan berstatus di bawah pengampuan.
Apabila seseorang telah dinyatakan jatuh pailit oleh hakim, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala tindak hukumnya dinyatakan tidak sah, harta yang ada di tangannya menjadi hak para pemberi hutang, dan sebaiknya kepailitannya diumumkan, agar khalayak ramai mengetahui keadaannya, dan lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dengan orang yang dinyatakan pailit itu.
Terhadap permasalahan boleh tidaknya seseorang yang dinyatakan pailit tersebut melakukan perjalanan ke luar kota, terdapat dua pendapat di kalangan ulama fiqh : Ulama Hanafiah dan Syafi’iyah menyataka bahwa para pemberi hutang tidak boleh melarang orang yang jatuh pailit itu melakukan perjalanan ke luar kota sebelum waktu jatuh tempo, karena mereka tidak berhak menuntut piutang mereka sebelum jatuh tempo pembayaran, sekalipun orang itu telah dinyatakan jatuh pailit. Akan tetapi apabila masa pembayaran hutang itu telah jatuh tempo, maka pemberi hutang berhak melarang orang yang pailit itu melakukan perjalanan ke luar kota.
Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pemberi Hutang berhak melarang orang yang jatuh pailit itu melakukan perjalanan apabila selama dalam perjalanannya itu masa pembayaran jatuh tempo, karena diduga ia menghindari tanggung jawab.
4)      Akibat Hukum Taflis (Pernyataan Pailit) dan Mahjur Alaih (di bawah Pengampuan)
Para ulama fiqh mengemukakan beberapa akibat hukum ditetapkannya seseorang yang jatuh pailit dan berstatus di bawah pengampuan. Di antara akibat hukum itu adalah :
a)      Sisa harta orang pailit itu menjadi hak para da-in (pemberi hutang(. Oleh sebab itu, ia tidak dibenarkan bertindak hukum pada sisa hartanya itu. Hal ini disepakati para ulama fiqh.
b)      Para ulama fiqh juga sepakat menyatakan bahwa, orang yang telah ditetapkan jatuh pailit oleh hakim, boleh dikenakan tahanan sementara sampai hutang-hutangnya ia bayar.
Akan tetapi, para ulama fiqh berbeda pendapat dalam hal pengawasan secara terus-menerus terhadap orang yang jatuh pailit tersebut.
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa orang-orang yang memberi piutang boleh mengawasi tindak tanduk orang yang jatuh pailit itu secara terus menerus. Alasan mereka adalah sebuah riwayat dari Rasulullah SAW, yang mengatakan : ”Orang yang memberi hutang mempunyai hak untuk mengawasi orang yang berhutang.” (HR al-Bukhari dan ath-Thabrani).
Namun demikian, orang yang jatuh pailit itu tidak dilarang melakukan tindakan hukum seperti : mencari rezeki, dan melakukan suatu perjalanan, ketika ia diawasi terus.
Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, apabila hakim berpendapat bahwa orang pailit itu dalam kesulitan, maka pemberi hutang tidak boleh menuntutnya dan mengawasinya secara terus-menerus. Menurut mereka, orang pailit seperti ini dibebaskan mencari rezeki sampai ia berkelapangan untuk membayar hutangnya. Alasan mereka adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 280 yang berbunyi : ”Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. ”
Terhadap kebolehan menahan sementara atau memenjarakan orang yang jatuh pailit, juga terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa hakim berhak untuk melakukan penahanan sementara atas orang yang jatuh pailit ketika hakim tidak mengetahui secara pasti keadaan keuangan orang yang jatuh pailit itu. Menurut mereka, dalam hal ini hakim boleh menahannya selama dua sampai tiga bulan, dan jika dalam masa itu hakim mengetahui bahwa orang pailit itu tidak memiliki harta untuk membayar hutang-hutangnya, maka ia dibebaskan. Hal ini, menurut mereka sejalan dengan kehendak Al-Baqarah : 280 di atas. Selanjutnya ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa seorang hakim boleh melakukan penahanan sementara terhadap orang pailit itu, apabila memenuhi empat syarat[20], yaitu :
a)      Waktu pembayaran hutangnya telah jatuh tempo.
b)      Diketahui, bahwa orang yang jatuh pailit itu mampu membayar hutang-hutangnya, tetapi tidak ia lakukan, sesuai dengan hadist Rasulullah yang menyatakan : ”Saya berhak untuk menahan sementara orang yang enggan membayar hutangnya, karena perbuatan itu bersifat zalim.” ((HR al-Bukhari, Muslim, an-Nisa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
c)      Orang yang jatuh pailit itu bukan ayah dan atau ibu dari yang memberi piutang, dengan alasan firman Allah dalam surat al-Isra’ (17) : 23 yang berbunyi : ”.........Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.....”,  dan ”...pergaulilah mereka dengan cara yang baik di dunia ini..”(QS.Lukman (31) : 15).
d)     Orang yang memiliki piutang mengajukan tuntutan kepada hakim, agar orang yang jatuh pailit itu dikenakan penahanan sementara.
Ulama Malikiyah mengatakan bahwa hakim boleh melakukan penahanan sementara terhadap orang yang jatuh pailit dengan syarat :
a)      Keadaan keuangannya tidak diketahui secara pasti.
b)      Penampilan orang yang jatuh pailit itu menyebabkan para pemberi hutang curiga bahwa ia mempunyai harta, sementara ia tetap menyatakan tidak mempunyai harta.
c)      Orang pailit itu ternyata mempunyai harta lain yang dapat digunakan untuk membayar hutang, tetapi ia enggan membayarnya. Terhadap hal ini, hakim terlebih dahulu dapat memaksa orang pailit itu menjual hartanya dan membayar hutang-hutangnya. Apabila ia enggan menjual harta itu dan membayar hutang-hutangnya, maka hakim boleh memenjarakan orang pailit itu. Apabila dalam pemeriksaan dan penelitian hakim, orang yang pailit itu memang tidak mempunyai harta untuk membayar hutang-hutangnya, maka ia dibebaskan dari penjara sementaranya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila orang yang jatuh pailit itu mempunyai harta yang boleh dijual untuk membayar hutang-hutangnya, maka hakim boleh memaksa orang itu untuk menjual hartanya dan melunasi hutang-hutangnya. Apabila ia enggan untuk menjual harta itu atau tidak mau membayar hutangnya, sedangkan para pemberi hutang menuntut kepada hakim untuk melakukan penahanan terhadap orang pailit itu, maka hakim boleh melakukan penahanan sementara. Apabila dengan penahanan sementara ini hakim tidak boleh memaksa orang yang jatuh pailit menjual hartanya untuk membayar hutang itu, hakim boleh melakukan hukuman jasmani, seperti memukulnya, sampai ia mau menjual hartanya itu dan membayar hutang-hutangnya. Jika dalam pemeriksaan hakim, orang yang jatuh pailit itu menyatakan bahwa ia dalam kesulitan keuangan, maka pernyataannya ini tidak diterima, kecuali ada bukti-bukti yang kuat untuk mendukung pernyataannya itu.
Akibat hukum selanjutnya apabila ternyata hutang orang yang jatuh pailit itu berupa barang, seperti hewan ternak, kendaraan, dan peralatan rumah tangga, dan barang-barang itu masih utuh di tangannya, apakah pemilik barang boleh mengambil barang-barang miliknya itu sebagai pembayar hutang ? Dalam persoalan ini terdapat pula perbedaan pendapat ulama fiqh.
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sekalipun barang-barang yang menjadi hutang orang pailit itu merupakan piutang salah seorang yang memberinya hutang, maka orang yang memberi piutang itu tidak boleh mengambil kembali barang-barang itu. Artinya, barang hutang, seperti furniture yang masih utuh di rumah orang yang jatuh pailit itu tidak boleh diambil oleh orang yang memberi hutang itu. Karena, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa :
”Barang siapa yang menemukan hartanya di tangan orang yang pailit, maka barang itu menjadi milik semua orang yang memberi hutang ((HR ath-Thabrani dan Abi Hurairah).
            Menurut jumhur ulama, apabila salah seorang yang memberinya hutang melihat barangnya masih utuh di rumah orang yang jatuh pailit itu, maka ia berhak mengambil kembali barang itu. Alasan mereka adalah sebuah riwayat yang menyatakan : ”Siapa yang menemukan barangnya secara utuh di tangan orang pailit, maka ia lebih berhak atas barang itu dari orang yang mempunyai piutang lainnya.” (HR.al-Jama’ah [mayoritas pakar hadist] dari Abi Hurairah dan Samurah ibn Jundab).
Akan tetapi,  jumhur ulama berbeda pendapat dalam syarat-syarat pengambilan barang itu dari tangan orang yang jatuh pailit tersebut.
Ulama Syafi’iyah mengemukakan syarat-syarat pengambilan itu, adalah :
a)      Utang itu telah jatuh tempo
b)      Orang yang pailit itu enggan membayar hutangnya.
c)      Barang yang menjadi hutang itu masih utuh di tangan orang pailit itu.
Ulama Hanabilah mengemukakan syarat-syarat, yaitu :
a)      Barang itu masih utuh di tangan orang yang jatuh pailit dan apabila telah berkurang atau rusak, tidak boleh diambil lagi.
b)      Tidak terjadi penambahan pada barang itu, misalnya kambing yang dahulunya masih kecil dan sekarang sudah besar dan laik diperah susunya.
c)      Pemilik piutang belum menerima harga barang itu sedikitpun.
d)     Terhadap barang itu tidak tersangkut hak orang lain, umpamanya barang itu tidak dalam keadaan tergadai atau tidak dihibahkan pada orang lain.
e)      Orang yang pailit dan orang yang memberi hutang itu masih hidup.
Menurut ulama Malikiyah syarat pengambilan barang itu adalah:
a)      Barang itu memang masih utuh, tanpa perubahan, penambahan, dan pengurangan.
b)      Boleh diambil sebagai pembayar hutang
c)      Para piutang lainnya tidak membayar ganti rugi pada pemilik barang yang masih utuh itu, karena kalau para piutang lainnya telah membayar ganti rugi kepada pemilik barang yang masih utuh di tangan orang pailit itu, maka pemilik barang itu tidak boleh mengambil kembali barang itu.
5)      Pencabutan Status Di Bawah Pengampuan Orang Pailit
Kaidah usul fiqh menyatakan bahwa hukum itu berlaku sesuai dengan ’illat-nya. Apabila ada ’illat-nya maka hukum berlaku, dan apabila ’illat-nya hilang, maka hukum itu tidak berlaku.
Dalam persoalan orang yang dinyatakan jatuh pailit dan berada di bawah pengampuan, apabila hartanya yang ada telah dibagikan kepada pemberi hutang oleh hakim, apakah statusnya sebagai orang yang dibawah pengampuan hapus dengan sendirinya ?
Jumhur ulama, termasuk sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, mengemukakan bahwa apabila harta orang yang jatuh pailit telah dibagi-bagikan kepada para pemberi hutang sesuai dengan perbandingannya, sekalipun tidak lunas, maka status di bawah pengampuannya dinyatakan hapus, karena penyebab yang menjadikan ia berada di bawah pengampuan telah hilang. Mereka menganalogikan orang yang berada di bawah pengampuan karena pailit dengan orang yang berada di bawah pengampuan karena gila. Dalam hal orang gila yang telah sembuh dari penyakitnya, statusnya sebagai orang yang berada di bawah pengampuan, gugur dengan sendirinya, tanpa harus ditetapkan oleh keputusan hakim. Demikian juga dengan orang yang jatuh pailit. Hal ini sejalan dengan kaedah usul fiqh yang menyatakan : ”Hukum itu beredar sesuai dengan ’illat (penyebab)-nya, apabila ada ’illat-nya ada hukumnya, dan apabila ’illat-nya sudah hilang, keadaannya kembali seperti semula.”
Sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa status orang pailit sebagai orang yang berada di bawah pengampuan tidak hapus, kecuali dengan keputusan hakim, karena penetapannya sebagai orang yang berstatus di bawah pengampuan didasarkan pada keputusan hakim, maka pembatalannya pun harus dengan keputusan hakim.
Dalam hubungan dengan ini, Mustafa Ahmad az-Zarga’, tokoh fiqh kontemporer asal Syiria, menyatakan bahwa ketetapan hakim dalam menentukan seseorang berada di bawah pengampuan mestilah mempunyai syarat, sehingga apabila syarat itu terpenuhi oleh orang yang dinyatakan pailit ini, maka secara otomatis statusnya bebas dari pengampuan, tanpa harus melalui ketetapan hakim terlebih dahulu. Misalnya, dalam surat ketetapan itu disebutkan ”apabila hutang-hutang yang bersangkutan ia bayar, maka ia bebas dari status di bawah pengampuan”. Namun, berita tentang kebebasan statusnya ini perlu disebarluaskan agar masyarakat mengetahuinya, dan tidak merugikan dirinya dalam melakukan transaksi ekonomi karena orang belum tahu akan kebebasannya dari pengampuan itu.
4.      Sumber Hukum dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Perlu diuraikan sumber-sumber hukum dalam menyelesaikan sengketa ekonomi Syariah, antara lain sebagai berikut:
A.    Sumber Hukum Acara
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syariah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
Sementara ini Hukum Acara yang berlaku dilingkungan Pengadilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Disamping dua peraturan sebagaimana tersebut diatas, diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993.
B.     Sumber Hukum Materil
a)      Nash al Qur’an
Dalam al Qur’an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang ekonomi berdasarkan prinsip syariah yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan. Syauqi al Fanjani menyebutkan secara eksplisit ada 21 ayat yaitu Al Baqarah ayat 188, 275 dan 279, An Nisa ayat 5 dan 32, Hud ayat 61 dan 116, al Isra ayat 27, dan lain-lain.
Disamping ayat-ayat tersebut diatas sebenarnya masih banyak lagi ayat-ayat al Qur’an yang membahas tentang masalah ekonomi dan keuangan baik secara mikro maupun makro, terutama tentang prinsip-prinsip dasar keadilan dan pemerataan, serta berupaya selalu siap untuk memenuhi transaksi ekonomi yang dilakukannya selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah.
b)      Nash al Hadits
Melihat kepada kitab-kitab Hadits yang disusun leh para ulama hadits dapat diketahui bahwa banyak sekali hadits Rasulullah SAW yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi dan keuangan islam. Oleh karena itu mempergunakan al Hadits sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi Syariah sangat dianjurkan pada pihak-pihak yang berwenang.
c)      Peraturan Perundang-Undangan
Benyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syariah.
d)     Aqad Perjanjian
Mayoritas ulama berpendapat bahwa asal dari semua transaksi adalah halal. Namun asal dari persyaratan memang masih diperselisihkan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa persyaratan itu harus diikat dengan nash-nash atau kesimpulan-kesimpulan dari nash melalui ijtihad. Demikian telah disepakati bahwa asal dari perjanjian itu adalah keridhaan kedua belah pihak, konsekuensinya apa yang telah disepakati bersama harus dilaksanakan. Menurut Taufiq dalam mengadili perkara sengketa ekonomi Syariah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja.
e)      Fiqih dan Ushul Fiqh
Fiqih merupakan sumberhukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih tertentu berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari’ah.

f)       Adat kebiasaan
Jika masalah-masalah yang timbul saat ini tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak da prinsip-prinsip umum yang dapat disimpulkan dari peristiwa itu maka dibenarkan untuk mengambil dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sepanjang nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan syariat islam.
g)      Yurispudensi[21][22]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang mana nantinya dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Penyelesaian sengketa ekonomi bertujuan untuk menghentikan pertikaian dan menghindari kekerasan dan akibat-akibat yang mungkin akan terjadi akibat dari persengketaan tersebut.
Secara bahasa “Sulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara 2 pihak yang bersengketa secara damai.[23] Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh allah swt sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa:126, yang artinya “perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”.
Istilah penghapusan hutang dalam Islam disebut dengan al- ibrā’ (الابراء) yang artinya melepaskan, dan menjauhkan diri dari sesuatu yakni, penghapusan hutang seseorang oleh pemberi utang. Dalam fiqih, ibrā’ berarti pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang berutang.
Secara etimologi, at-taflis berarti pailit, tekor  atau jatuh miskin. Orang yang pailit disebut muflis, yaitu  seorang yang tekor, di mana hutangnya lebih besar dari assetnya. Dalam sebuah hadits, Nabi Saw pernah menggambarkan seorang yang muflis di akhirat, yaitu orang yang dosanya lebih besar dari pahalanya. Orang  tersebut mengalami  tekor, karena pahalanya dipindahkan kepada orang-orang yang digunjingnya, sehingga timbangan dosanya menjadi lebih besar dari pahalanya. Dalam konteks ekonomi, istilah taflis diartikan sebagai orang yang hutangnya lebih besar dari hartanya.




[1] Https://Kbbi.Web.Id/Sengketa, Di Akses Tanggal 23 April 2017, Pukul 20:30.
[2] Https://Aliesaja.Wordpress.Com/Penyelesaian-Sengketa-Ekonomi.Html, Di Akses Tanggal 23 April 2017, Pukul 20.30.
[3] Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, Jakarta: Pt Fikahati Aneska Dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia, 2002.

[4] AW. Munawir, Kamus Al-Munawir, Pondok Pesantren AL-Munawir, Yogyakarta, 1984, hlm 843.
[5] Asyur Abdul Jawad Hamid, An Nidham Lil Bunuk Al Islam, Al Ma’had Al Alamy Lil Fikr al Islamy, Cairo, Mesir, 1996, hlm 230.
[6] Abdul Aziz Dahlan, dkk (eds), Ensiklopedia Hukum Islam, artikel Ibra’, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), cet V, hlm. 629.
[7] Ibid., hlm. 630.
[8] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Islam (Study Tentang Teori Akad Dalam Fikih
Muamalat), cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo, 2007), hlm. 212.
[9] Al-Mâidâh (5): 2.
[10] Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih (Qawaidul Fiqiyyah), Cet. I, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1976), hlm. 85.
[11] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Syarah Bulughul Maram. Hlm. 504

[12] M. Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat). Hlm. 19
[13] Hasan, M.Ali, Berbagai macam transaksi dalam Islam (Jakarta, RajaGrafindo Persafa, 2004) Hlm.195
[14] Hamzah Ya’qub. Kode Etik Dagang Menurut Islam. Hlm. 238
[15] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Op. Cit. Hlm. 504

[16] 5 Ibid. Hlm. 505

[17] Nasrun Haroen, Figh muamalat (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000).
[18] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Op. Cit. Hlm. 515-517

[19] Nasrun Haroen, Figh muamalat (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000).

[20] Nasrun Haroen, Figh muamalat (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000).


[22] Op.Cit, Nurul Hak, hal.201
[23] AW. Munawir, Kamus Al-Munawir, Pondok Pesantren AL-Munawir, Yogyakarta, 1984, hlm 843.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH TENTANG PENDAPATAN NASIONAL

MAKALAH MANAJEMEN PEMASARAN